MAKALAH
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN JUGA PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA
KEAGAMAAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas dalam mata kuliah
Psikologi Agama
Dosen Pembimbing : Syarifah Normawati, M. Pd. I
Disusun
oleh :
1.
Joni 3. Sumistari
2.
Risman Solihan
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Semester: IV B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM IBNU SINA BATAM
TAHUN
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita
semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula,
penulis dapat menyelesaikan makalah Psikologi Agama yang insyaallah tepat
pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, kritik, saran, dan masukan yang
membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah
yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua. Amiin.
Batam , 25 April 2016
Kelompok VII,
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL...............................................................................................
i
KATA
PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................ iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.................................... 2
B. Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan...................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 14
B. Saran.......................................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kebudayaan
yang ada pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola
pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Dari
sudut pandang ini, agama disatu sisi memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai
budaya yang ada, sehingga agamapun bisa berjalan atau akomodatif dengan
nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain karena agama sebagai
wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan
dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber bagi
nilai-nilai budaya itu. Disinilah terjadi hubungan timbale balik antara agama
dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah pengaruh kebudayaan terhadap jiwa
keagamaan dan bagaimana pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan. Oleh
karena itu pada kesempatan ini pemakalah
mencoba untuk membahas materi tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Pengaruh Kebuayaan Terhadap Jiwa
Keagamaan ?
2.
Bagaimana Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa
Keagamaan ?
C.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
1.
Untuk Mengetahui Pengaruh Kebuayaan Terhadap
Jiwa Keagamaan
2.
Untuk Mengetahui Pengaruh Pendidikan
Terhadap Jiwa Keagamaan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGARUH
KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Untuk menghindari terjadinya pemahaman yang
berbeda, maka dalam uraian ini akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
pengertian kebudayaan kebudayaan
berasal dari (bahasa Sanskerta) yaitu "buddayah" yang merupakan
bentuk jamak dari kata "budhi" yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal". pengertian
kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila,
hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan.
Sedangkan
menurut definisi Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa pengertian
kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus
didapatkannya dengan belajar dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Senada dengan Koentjaraningrat, didefinisikan oleh Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soenardi, merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan
rasa masyarakat.[1]
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk
keperluan masyarakat.
Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah
terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat sebagai
berikut:
1.
Tradisi Keagamaan Dan Kebudayaan
Tradisi
menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur social budaya yang telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire melihat
bahwa dalam masyarakat pedesaan
umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara
garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut
dengan pranata. Pranata ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum,
kompetetif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik,
pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata hokum dan
keterkaitan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiologi
menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat dengan mudah diubah
struktur dan peranan hubungan antar perannya maupun norma-norma yang berkaitan
dengan itu, dengan perhitungan rasional yang menguntungkan yang dihadapi
sehari-hari. Pranata sekunder tampaknya bersifat fleksibel, mudah berubah
sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukungnya.
Sebaliknya,
menurut Parsudi Suparlan, para sosiolog mengidentifikasikan adanya pranata
primer. Pranata primer ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan
haqiqi dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga
diri, jati diri serta kelestarian masyarakatnya. Karena itu, pranata ini tidak
dengan mudah dapat berubah begitu saja. Melihat struktur dan peranan
serta fungsinya, pranata primer lebih mengakar pada kehidupan masyarakat.
Pranata primer bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan
serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan,
keagamaan pertemanan atau persahabatan. Mengaju pada penjelasan tersebut,
tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer. Hal ini dikarenakan antara
lain menurut Rodaslav A. Tsanoff, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur
yang berkaitan dengan ke-Tuhanan
atau keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat
mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-nilai
yang haqiqi. Dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain
didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsure-unsur yang memiliki
nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat
penting (pivotal values) yang berkaitan erat dengan agama yang dianut
masyarakat, atau pribadi-pribadi pemeluk agama tersebut.
Dengan
demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai
hubungan timbale balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat
akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan.
Sebaliknya, makin secular suatu masyarakat maka pengaruh tradisi dalam
kehidupan masyarakat akan kian memudar.
2.
Tradisi Keagamaan Dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan
pranata keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan
demikian, tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan norma dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagai pranata primer
dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung oleh
kesadaran bahwa pranat tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati
diri masyarakat pendukungnya.
Para
ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk. Menurut bentuknya kebudayaan
terdiri atas tiga, yaitu
a.
Sistem kebudayaan (cultural system )
b.
Sistem Sosial (Social system )
c.
Benda-benda budaya (material culture)
Isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri
atas tujuh unsure, yaitu: bahasa, system teknologi, system ekonomi, organisasi
social, system pengetahuan, religi, dan kesenian. Dengan demikian, dilihat dari
bentuk dan isi, kebudayaan dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur
kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh
norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai serta norma-norma yang menjadi pedoman hidup berkembang dalam
berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu system social.
Dari system ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk
benda fisik.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi
keagamaan secara konkret, pernyataan Koentjaraningrat dapat digambarkan melalui
proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu keagamaan. Contoh, masuknya
agama-agama ke Nusantara sejak abad keempat (hindu Budha), ketujuh (Islam), dan
k e-16 (Kristen). Meskipun keempat agama disiarkan ke Nusantara dalam kurun
waktu yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat pendukungnya
di Indonesia masih terlihat nyata.
Pada tahap permulaan, ketika agama-agama tersebut
datang ke wilayah Nusantara, para pemimpin agama tersebut menyampaikan
ajaran-ajaran agama masing-masing kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut
berupa konsep tentang ke-Tuhanan, nilai-nilai maupun norma-norma yang perlu
diketahui oleh masyarakat pemeluk agama agama itu masing-masing, sebagai
gagasan pertama yang oleh antropolog disebut Cultural system.
Pada tahap kedua, masyarakar diarahkan kepada
bagaimana melaksanakan ajaran agama masing-masing. Pengetahuan agama yang telah
dimiliki oleh masyarakat diharapkan dapat di dikerjakan, baik dalam
upacara-upacara yang resmi maupun dalam pola tingkah laku keseharian. agama ini
ditekankan pada penguasaan sikap dan tingkah laku (afektif). Pad tahap ini
terlihat bahwa ajaran agama sudah mencapai tingkat yan dalam pendekatan
antropologi disebut Social system. Agama sudah diwujudkan dalam bentuk kegiatan
hidup di masyarakat.
Di tahap berikutnya, terciptalah benda-benda
keagamaan, baik dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama
itu masing-masing. Pada tahap ini, untuk kepentingan melaksanakan aktivitas
keagamaan, maka dibangun rumah-rumah ibadah dengan segala kelengkapannya.
Selanjutnya, untuk membakukan ajarann -ajaran agama dimasyarakat ditulis dan
dibukukan ajaran-ajaran agama tersebut. Tahap ini dalam pandangan antropolog,
sudah terwujud suatu material culture dalam agama.
Lingkungan yang bersumber dari ajaran agama ini
kemudian mempengaruhi sikap keberagaman masyarakat Indonesia hinggga sekarang.
Pada wilayah-wilayah tertentu sikap keberagamaan ini dipengaruhi oleh agama
Hindu, pada wilayah lain oleh Kristen, dan wilayah selanjutnya oleh Islam. Di
sini terlihat bagaimana tradisi keagamaan yang telah berlangsung sejak empat
belas abad lalu masih ikut mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.
Tradisi keagamaan menurut Monk menunjukan
kepada komplek-sitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap dan kepercayaan atau
keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting
(nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan
selama periode-periode tertentu. Penolakan terhadap pola tingkah laku, sikap,
dan keyakinan dalam kaitannya dengan keagamaan juga merupakan tradisi
keagamaan. Sebab, bagaimanapun penolakan tersebut telah membentuk suatu
pandangan tertentu yang berbeda dengan pola tingkah laku, sikap, maupun
keyakinan suatu agama.
Menurut Robert C. Monk, tradisi keagamaan dan
keyakinan komunitas bergantung kepada tanggung jawab dan partisipasi perorangan
yang menjadi anddotanya. Kondisi seperti itu sebaliknya memberi dukungan dan
bimbingan kepada setiap pemeluk keyakinan yang dimaksud sehingga timbul
keyakinan pada diri masing-masing. Semuanya itu, kata Monk, ikut membantu
memperjelas jati diri individu dan hal ini akan berperan dalam mengatasi krisis
yang dialami oleh pemeluk keyakinan itu masing-masing.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling
mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan
sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut member
nila-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan
demikian tradisi keagamaan member pengaruhdalam membentuk pengalaman dan
kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang
yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
3.
Kebudayaan Dalam Era Globalisasi Dan
Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Era globalisasi umumnya digambarkan sebagai
kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia
antar Negara menjadi mudah berhubungan baik melalui kenjungan secara fisik,
karena alat transportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk
melewati keberbagai tempat di bumi ini, ataupun melalui pemanfaatan perangkat
komunikasi.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak
globalisasi dapat dilihat melalui hubungannya
dengan perubahan sikap. Prof. Dr. Mar’at mengemukakan beberapa teori
tentang perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan
Tannen-baum perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada
diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila
pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun
masyarakat, maka mereka akan menerimanya. Selanjutnya, menurut teori Festinger,
bahwa perubahan seakan terjadi apabila terjadi keseimbangan kognitif (Pengetahuan)
terhadap lingkungannya. Dengan demikian, perubahan sikap dari seseorang atau
masyarakat akan terjadi apabila menurut pengetahuan mereka kemajuan teknologi
yang dialaminya di era globalisasi sejalan dengan pengetahuan dan pemikirannya.
Hal ini akan memberi dampak penerimaan pengaruh yang datang. Sedangkan, menurut
teori Reactance, manusia akan menerima sesuatu dengan mengubah sikap yang
sebelumnya menentang, apabila menurut penilaiannya sesuatu itu akan mengarah
kepada aktivitas yang lebih aktif. Sebaiknya dalam teori fungsional dikemukakan
bahwa perubahan sikap tergantung dari pemenuhan kebutuhan. Perubahan sikap ini
dalam pendekatan psikologi. Jadi, apabila seseorang merasa sependapat dengan
sesuatu maka akan timbul simpati. Pada garis besarnya, proses perubahan sikap
tersebut dapat digambarkan melalui dua jalur, yaitu proses rasional dan proses
emosional.
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada
tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai
suatu perubahan yang wajar. Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya
berbagai kemudahan dalam hidup manusia. Mobilitas menjadi cepat oleh adanya
kemajuan bidang transportasi. Kemdian dengan dukungan teknik kimunikasi yang
canggih, manusia dapat dengan mudah berhubungan dan memperoleh informasi.
Kehidupan manusia di era global mengacu ke
kehidupan cosmopolitan. Batas geografis negara seakan melebur menjadi kawasan
global. Demikian juga dengan rasa kebangsaan kian menipis.. Di pihak lain
dampak dari mobilitas manusia yang semakin tinggi dan kemudahan transportasi,
terjadi proses lintas budaya yang cepat. Dukungan dari kecanggihan system
informasi, menjadikan dunia semakin transparan. Sementara itu nilai-nilai
tradisional mengalami penggerusan. Manusia mengalami proses perubahan system
nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi
masyarakatnya. Era global seakan menawarkan alternative kehidupan baru bagi
manusia, yakni kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menawarkan dan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Di pihak lain manusia
juga diharapkan pada upaya untuk mempertahankan system nilai yang mereka anut.
Dalam situasi seperti itu, biasa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama,
mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa
teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kemungkinan
akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, mereka yang longgar dari
nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit
menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya
B.
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Perkembangan
kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang.
Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses
perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan
mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Menurut
Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia
secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba
dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan
Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an,
untuk bertaqwa kepada-Nya.[2]
Dengan demikian pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi
jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan
fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan agama memang
mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan
agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat islam kepada
perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan terinternalisasi
esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini
meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam
semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa
kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa
ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin mengikuti
aturan-aturan-Nya.
Pengaruh
pendidikan sangat besara terhadap jiwa keagamaan yang berdampak pada beberapa dibidang
pendidikan seperti berikut:
1. Pendidikan Keluarga
Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan
yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima
pengaruh dan pendidikan dari keluarga. Hal ini mengandung pengertian, bahwa
dalam usia bayi sampai usia sekolah keluarga mempunyai peran yang dominan dalam
menumbuhkembangkan rasa keagamaan dalam seorang anak.
Potensi
religiositas seorang anak akan dapat berkembang baik karena adanya sentuhan
dari orang tua. Melalui sentuhan orang tua ini potensi keagmaan tersebut
berkembang dengan baik karena adanya pengarahan yang baik pula.
Keluarga
sebagai tempat pendidikan pertama dalam proses perkembangan rasa agama setiap
individu. Kedekatan orang tua dengan anaknya menjadikan orang tua sebagai asignificant
person bagi anaknya. Semua perilaku keagamaan orang tua terserap oleh anak
menjadi bahan identifikasi diri anak terhadap orang tuanya. Maka terjadilah
proses imitasi perilaku, karena sekedar peniruan saja atau didiringi oleh
keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Karena proses imitasi yang terus
menerus maka perilaku keagamaan orang tua terinternalisasi dalam diri anak dan
mengkristal menjadi kata hati.[3]
2. Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitive lembaga pendidikan
secara khusus tidak ada. Anak-anak umumya dididik di lingkungan keluarga dan
masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kaelembagaan memang belum
diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak
dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapt dipastikan ia akan menjadi
petani seperti orang tuan dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak
seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.[4]
Sesuai
dengan peran dan fungsinya, lembaga pendidikan merupakan jenjang setelah
pendidikan keluarga. Lembaga pendidikan agama mempunyai peran yang sangat
efektif dalam perkembangan rasa keagamaan seeorang. Usia anak yang beranjak
dewasa dibarengi rasa keingintahuan yang menggebu menjadi pintu bagi penanaman
nilai-nilai keagamaan.
Pihak-pihak
yang terkait dengan sekolah seperti guru dan kepala sekolah mempunyai tugas
yang yang berat dalam rangka mengembangkan rasa keagamaan tersebut. Segala
macam kurikulum, sistem belajar, metode, pendekatan dan sebagainya harus diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkkan dalam rangka penanaman rasa keagamaan.
Rasa keagamaan yang dikembangkan dalam sebuah pendidikan agama akan berujung
pada perubahan sikap menerima nilai-nilai agama.
Menurut
Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke menerima berlangsung
melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian,
kedua adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian pengaruh
kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak angat
tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu.
Pertma, pendidikan yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik.
Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi,
metode serta alat-alat Bantu ynag memungkinkan anak-anak memberikan
perhatiaanya.
Kedua,
para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang
materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap
jika pendidikan agama yang diberikan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Jadi, tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata. Ketiga,
peneimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini
sangat tergantung dengan hub ungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai
bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya
banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian
dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama
seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua cirri ini akan sangat menentukan dalam
mengubah sikap para anak didik.
3. Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat
merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat
bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah
keluarga, kelembagaan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara
ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Masyarakat
bisa menjadi wahana pembelajaran yang sangat luas bagi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa keagamaan. Secara nilai dan keilmuan manusia berkembang
terus-menerus, oleh karena itu pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa
keagamaan merupakan bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam
pertumbuhan psikis.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan
budi atau akal". pengertian kebudayaan secara umum adalah hasil
cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap
kecakapan, dan kebiasaan. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah
terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat sebagai
berikut:
1.
Tradisi Keagamaan Dan Kebudayaan
2.
Tradisi Keagamaan Dan Sikap Keagamaan
3.
Kebudayaan Dalam Era Globalisasi Dan
Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Pengaruh pendidikan sangat besara terhadap jiwa keagamaan yang
berdampak pada beberapa dibidang pendidikan seperti berikut:
1.
Pendidikan Keluarga
2.
Pendidikan Kelembagaan
3. Pendidikan di Masyarakat
B.
SARAN
Sebagai penyusun,
kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu,
kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah
yang selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Soenardi,
Soelaeman. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964
Shihab,
Quraish. Membumikan
al Qur`an. Bandung: Mizan. 1992
Ausubel,
D.P. Theory and Problem of Child Development
(New York: Grune and Stone Inc., 1969
Baldwin, A.L. Theories of Child Development. New
York: John Wiley & Sons. 1967
Prof.Dr.H Jalaludin. Psikologi
Agama. Jakarta: rajawali Pers. 2004
[1]
Soelaeman
Soenardi. Setangkai Bunga Sosiologi. (Jakarta :Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. 113
[2] Quraish Shihab, Membumikan al Qur`an, (Bandung:
Mizan, 1992)S, cet. Ke-2, Hlm. 173
[3]
D.P. Ausubel, Theory and Problem of Child
Development (New York: Grune and Stone Inc., 1969). Hlm. 381 Lihat
juga pada A.L. Baldwin, Theories of Child Development (New York: John
Wiley & Sons, 1967). Hlm. 459
[4] Prof.Dr.H Jalaludin. Psikologi
Agama, (Jakarta: rajawali Pers, 2004),edisi revisi 2004, hlm.
222-223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum Wr.wb
Pesan Berkomentar :
1. Mohon berkomentar yang baik, yang bertujuan untuk memperbaiki dan
bersifat membangun.
2. Dilarang berkomentar untuk yang tidak baik di blog ini atau yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku.