Rabu, 11 Mei 2016

Mkalah Psikologi Agama: Pengaruh Kebudayaan terhadap Jiwa Keagamaan Dan Pengaruh Pendidikan terhadap Keagamaan KEPRI







MAKALAH
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN JUGA PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Psikologi Agama
Dosen Pembimbing : Syarifah Normawati, M. Pd. I




Disusun oleh :
1.     Joni                           3. Sumistari
2.     Risman Solihan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Semester: IV B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM IBNU SINA BATAM
TAHUN 2014/2015



KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah Psikologi Agama yang insyaallah tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.


       Batam , 25 April  2016
   
                                                                                                          Kelompok VII,



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i         
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.  Rumusan masalah...................................................................................... 1
C.  Tujuan Pembelajaran.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.................................... 2
B. Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan...................................... 9
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan................................................................................................ 14       
B.  Saran.......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
        A.    LATAR BELAKANG
Kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Dari sudut pandang ini, agama disatu sisi memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agamapun bisa berjalan atau akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber bagi nilai-nilai budaya itu. Disinilah terjadi hubungan timbale balik antara agama dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan dan bagaimana pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan. Oleh karena itu pada kesempatan ini  pemakalah mencoba untuk membahas materi tersebut.

        B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pengaruh Kebuayaan Terhadap Jiwa Keagamaan ?
2.      Bagaimana Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan ?

        C.    TUJUAN PEMBELAJARAN
1.      Untuk Mengetahui Pengaruh Kebuayaan Terhadap Jiwa Keagamaan
2.      Untuk Mengetahui Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan




BAB II
PEMBAHASAN
        A.    PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Untuk menghindari terjadinya pemahaman yang berbeda, maka dalam uraian ini akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian kebudayaan kebudayaan berasal dari (bahasa Sanskerta) yaitu "buddayah" yang merupakan bentuk jamak dari kata "budhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". pengertian kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan.
 Sedangkan menurut definisi Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa pengertian kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat. Senada dengan Koentjaraningrat, didefinisikan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi, merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat.[1] Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. 
Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut:
1.      Tradisi Keagamaan Dan Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur social budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc  Guire melihat  bahwa dalam  masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut dengan pranata. Pranata ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetetif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata hokum dan keterkaitan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungan antar perannya maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu, dengan perhitungan rasional yang menguntungkan yang dihadapi sehari-hari. Pranata sekunder tampaknya bersifat fleksibel, mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukungnya.
Sebaliknya, menurut Parsudi Suparlan, para sosiolog mengidentifikasikan adanya pranata primer. Pranata primer ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan haqiqi dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati diri serta kelestarian masyarakatnya. Karena itu, pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja. Melihat struktur dan peranan serta fungsinya, pranata primer lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Pranata primer bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan pertemanan atau persahabatan. Mengaju pada penjelasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer. Hal ini dikarenakan antara lain menurut Rodaslav A. Tsanoff, pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang haqiqi. Dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsure-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi  keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat penting (pivotal values) yang berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat, atau pribadi-pribadi pemeluk agama tersebut.
Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbale balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin secular suatu masyarakat maka pengaruh tradisi dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.

2.      Tradisi Keagamaan Dan Sikap Keagamaan
     Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranat tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu
a.       Sistem kebudayaan (cultural system )
b.      Sistem Sosial (Social system )
c.       Benda-benda budaya (material culture)
Isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri atas tujuh unsure, yaitu: bahasa, system teknologi, system ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, religi, dan kesenian. Dengan demikian, dilihat dari bentuk dan isi, kebudayaan dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai serta norma-norma yang menjadi pedoman hidup berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu system social. Dari system ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan secara konkret, pernyataan Koentjaraningrat dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu keagamaan. Contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara sejak abad keempat (hindu Budha), ketujuh (Islam), dan k e-16 (Kristen). Meskipun keempat agama disiarkan ke Nusantara dalam kurun waktu yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat pendukungnya di Indonesia masih terlihat nyata.
Pada tahap permulaan, ketika agama-agama tersebut datang ke wilayah Nusantara, para pemimpin agama tersebut menyampaikan ajaran-ajaran agama masing-masing kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut berupa konsep tentang ke-Tuhanan, nilai-nilai maupun norma-norma yang perlu diketahui oleh masyarakat pemeluk agama agama itu masing-masing, sebagai gagasan pertama yang oleh antropolog disebut Cultural system.
Pada tahap kedua, masyarakar diarahkan kepada bagaimana melaksanakan ajaran agama masing-masing. Pengetahuan agama yang telah dimiliki oleh masyarakat diharapkan dapat di dikerjakan, baik dalam upacara-upacara yang resmi maupun dalam pola tingkah laku keseharian. agama ini ditekankan pada penguasaan sikap dan tingkah laku (afektif). Pad tahap ini terlihat bahwa ajaran agama sudah mencapai tingkat yan dalam pendekatan antropologi disebut Social system. Agama sudah diwujudkan dalam bentuk kegiatan hidup di masyarakat.
Di tahap berikutnya, terciptalah benda-benda keagamaan, baik dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama itu masing-masing. Pada tahap ini, untuk kepentingan melaksanakan aktivitas keagamaan, maka dibangun rumah-rumah ibadah dengan segala kelengkapannya. Selanjutnya, untuk membakukan ajarann -ajaran agama dimasyarakat ditulis dan dibukukan ajaran-ajaran agama tersebut. Tahap ini dalam pandangan antropolog, sudah terwujud suatu material culture dalam agama.
Lingkungan yang bersumber dari ajaran agama ini kemudian mempengaruhi sikap keberagaman masyarakat Indonesia hinggga sekarang. Pada wilayah-wilayah tertentu sikap keberagamaan ini dipengaruhi oleh agama Hindu, pada wilayah lain oleh Kristen, dan wilayah selanjutnya oleh Islam. Di sini terlihat bagaimana tradisi keagamaan yang telah berlangsung sejak empat belas abad lalu masih ikut mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.
Tradisi keagamaan menurut Monk menunjukan kepada komplek-sitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap dan kepercayaan atau keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting (nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu. Penolakan terhadap pola tingkah laku, sikap, dan keyakinan dalam kaitannya dengan keagamaan juga merupakan tradisi keagamaan. Sebab, bagaimanapun penolakan tersebut telah membentuk suatu pandangan tertentu yang berbeda dengan pola tingkah laku, sikap, maupun keyakinan suatu agama.
Menurut Robert C. Monk, tradisi keagamaan dan keyakinan komunitas bergantung kepada tanggung jawab dan partisipasi perorangan yang menjadi anddotanya. Kondisi seperti itu sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada setiap pemeluk keyakinan yang dimaksud sehingga timbul keyakinan pada diri masing-masing. Semuanya itu, kata Monk, ikut membantu memperjelas jati diri individu dan hal ini akan berperan dalam mengatasi krisis yang dialami oleh pemeluk keyakinan itu masing-masing.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut member nila-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian tradisi keagamaan member pengaruhdalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.

3.      Kebudayaan Dalam Era Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Era globalisasi umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia antar Negara menjadi mudah berhubungan baik melalui kenjungan secara fisik, karena alat transportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk melewati keberbagai tempat di bumi ini, ataupun melalui pemanfaatan perangkat komunikasi.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak globalisasi dapat dilihat melalui hubungannya  dengan perubahan sikap. Prof. Dr. Mar’at mengemukakan beberapa teori tentang perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen-baum perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya. Selanjutnya, menurut teori Festinger, bahwa perubahan seakan terjadi apabila terjadi keseimbangan kognitif (Pengetahuan) terhadap lingkungannya. Dengan demikian, perubahan sikap dari seseorang atau masyarakat akan terjadi apabila menurut pengetahuan mereka kemajuan teknologi yang dialaminya di era globalisasi sejalan dengan pengetahuan dan pemikirannya. Hal ini akan memberi dampak penerimaan pengaruh yang datang. Sedangkan, menurut teori Reactance, manusia akan menerima sesuatu dengan mengubah sikap yang sebelumnya menentang, apabila menurut penilaiannya sesuatu itu akan mengarah kepada aktivitas yang lebih aktif. Sebaiknya dalam teori fungsional dikemukakan bahwa perubahan sikap tergantung dari pemenuhan kebutuhan. Perubahan sikap ini dalam pendekatan psikologi. Jadi, apabila seseorang merasa sependapat dengan sesuatu maka akan timbul simpati. Pada garis besarnya, proses perubahan sikap tersebut dapat digambarkan melalui dua jalur, yaitu proses rasional dan proses emosional.
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia. Mobilitas menjadi cepat oleh adanya kemajuan bidang transportasi. Kemdian dengan dukungan teknik kimunikasi yang canggih, manusia dapat dengan mudah berhubungan dan memperoleh informasi.
Kehidupan manusia di era global mengacu ke kehidupan cosmopolitan. Batas geografis negara seakan melebur menjadi kawasan global. Demikian juga dengan rasa kebangsaan kian menipis.. Di pihak lain dampak dari mobilitas manusia yang semakin tinggi dan kemudahan transportasi, terjadi proses lintas budaya yang cepat. Dukungan dari kecanggihan system informasi, menjadikan dunia semakin transparan. Sementara itu nilai-nilai tradisional mengalami penggerusan. Manusia mengalami proses perubahan system nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya. Era global seakan menawarkan alternative kehidupan baru bagi manusia, yakni kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan dan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Di pihak lain manusia juga diharapkan pada upaya untuk mempertahankan system nilai yang mereka anut. Dalam situasi seperti itu, biasa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, mereka yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya

B. PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an, untuk bertaqwa kepada-Nya.[2] Dengan demikian pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pengaruh pendidikan sangat besara terhadap jiwa keagamaan yang berdampak pada beberapa dibidang pendidikan seperti berikut:
1.      Pendidikan Keluarga
    Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari keluarga. Hal ini mengandung pengertian, bahwa dalam usia bayi sampai usia sekolah keluarga mempunyai peran yang dominan dalam menumbuhkembangkan rasa keagamaan dalam seorang anak.
Potensi religiositas seorang anak akan dapat berkembang baik karena adanya sentuhan dari orang tua. Melalui sentuhan orang tua ini potensi keagmaan tersebut berkembang dengan baik karena adanya pengarahan yang baik pula.
Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dalam proses perkembangan rasa agama setiap individu. Kedekatan orang tua dengan anaknya menjadikan orang tua sebagai asignificant person bagi anaknya. Semua perilaku keagamaan orang tua terserap oleh anak menjadi bahan identifikasi diri anak terhadap orang tuanya. Maka terjadilah proses imitasi perilaku, karena sekedar peniruan saja atau didiringi oleh keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Karena proses imitasi yang terus menerus maka perilaku keagamaan orang tua terinternalisasi dalam diri anak dan mengkristal menjadi kata hati.[3]
2.      Pendidikan Kelembagaan
     Di masyarakat primitive lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kaelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapt dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tuan dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.[4]
Sesuai dengan peran dan fungsinya, lembaga pendidikan merupakan jenjang setelah pendidikan keluarga. Lembaga pendidikan agama mempunyai peran yang sangat efektif dalam perkembangan rasa keagamaan seeorang. Usia anak yang beranjak dewasa dibarengi rasa keingintahuan yang menggebu menjadi pintu bagi penanaman nilai-nilai keagamaan.
Pihak-pihak yang terkait dengan sekolah seperti guru dan kepala sekolah mempunyai tugas yang yang berat dalam rangka mengembangkan rasa keagamaan tersebut. Segala macam kurikulum, sistem belajar, metode, pendekatan dan sebagainya harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkkan dalam rangka penanaman rasa keagamaan. Rasa keagamaan yang dikembangkan dalam sebuah pendidikan agama akan berujung pada perubahan sikap menerima nilai-nilai agama.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian, kedua adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak angat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertma, pendidikan yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat Bantu ynag memungkinkan anak-anak memberikan perhatiaanya.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata. Ketiga, peneimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hub ungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua cirri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.
3.      Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Masyarakat bisa menjadi wahana pembelajaran yang sangat luas bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan. Secara nilai dan keilmuan manusia berkembang terus-menerus, oleh karena itu pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan merupakan bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.
 
BAB III
PENUTUP

        A.    KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". pengertian kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut:
1.      Tradisi Keagamaan Dan Kebudayaan
2.      Tradisi Keagamaan Dan Sikap Keagamaan
3.      Kebudayaan Dalam Era Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Pengaruh pendidikan sangat besara terhadap jiwa keagamaan yang berdampak pada beberapa dibidang pendidikan seperti berikut:
1.      Pendidikan Keluarga
2.      Pendidikan Kelembagaan
3.      Pendidikan di Masyarakat
        B.     SARAN
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.
  
DAFTAR PUSTAKA
Soenardi, Soelaeman. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964
Shihab, Quraish. Membumikan al Qur`an. Bandung: Mizan. 1992
Ausubel, D.P.  Theory and Problem of Child Development (New York: Grune and Stone Inc., 1969
 Baldwin, A.L. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons. 1967
Prof.Dr.H Jalaludin. Psikologi Agama.  Jakarta: rajawali Pers. 2004


[1] Soelaeman Soenardi. Setangkai Bunga Sosiologi. (Jakarta :Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. 113
[2] Quraish Shihab, Membumikan al Qur`an, (Bandung: Mizan, 1992)S, cet. Ke-2, Hlm. 173

[3] D.P. Ausubel, Theory and Problem of Child Development (New York: Grune and Stone Inc., 1969). Hlm. 381  Lihat juga pada A.L. Baldwin, Theories of Child Development (New York: John Wiley & Sons, 1967). Hlm. 459
[4] Prof.Dr.H Jalaludin. Psikologi Agama,  (Jakarta: rajawali Pers, 2004),edisi revisi 2004, hlm. 222-223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum Wr.wb

Pesan Berkomentar :
1. Mohon berkomentar yang baik, yang bertujuan untuk memperbaiki dan
bersifat membangun.
2. Dilarang berkomentar untuk yang tidak baik di blog ini atau yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku.

ERIC TEN HAG