TUGAS
MAKALAH
HADITS
DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA
Makalah
ini di tulis untuk memenuhi tugas Ulumul Hadits
Dosen
Pembimbing : Mukhsan S.Pd.I
Disusun
Oleh : Kelompok 5
Joni
Jurusan :
Pendidikan Agama Islam
Semester: II B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM IBNU SINA BATAM
Tahun
2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji
dan syukur (alhamdulillah wa syukur
lillah) dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan
hidayah-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dan telah rampung.
Shalawat
dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan shabatnya,
dengan harapan semoga umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi pekerti yang
mulia.
Makalah
ini berjudul “Hadits Ditnjau dari Segi Kulaitasnya” dan disusun dalam rangka memenuhi
tugas Ulumul Hadits. Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan ucapan
terima kasih kepada Bapak Mukhsan S.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah
Ulumul Hadits yang senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami.
Kami juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah memberikan semangat dan
ide yang luar biasa dalam mendukung penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa masih
banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari kata sempurna dalam
penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
kepada pembaca yang bersifat membangun.
Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca
guna memperkaya ilmu pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………….. i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………. ii
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1
A. Latar
Belakang Masalah…………………………………………………………… 1
B. Rumusan
Masalah………………………………………………………………….. 1
C. Tujuan
Makalah……………………………………………………………………. 2
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 3
A. Pembagian
Hadits Ditinjau dari segi Kualitasnya………..…………..……………. 3
B. Hadits
Shahih……………………………………..…………..……….…………... 3
C. Hadits
Hasan……………………………………………..………………………... 6
D.
Hadits
Dha’if…………………………………….. …………………….…………. 8
BAB
III PENUTUP……………………………………………………………………….. 10
A. Kesimpulan………………………………………………………………………… 10
B. Saran……………………………………………………………………………….. 10
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist
merupakan sumber ajaran agama islam, disamping Al-qur’an. Bila dilihat dari
segi periwatannya jelas berbeda antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk Al-qur’an
semua periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist
sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara
ahead. Berawal dari hal tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam
menilai kualitas sebuah hadist sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang
akibatnya bukan kesepakatanyang didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.
Kemudian
berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat
dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan
pendapatnya sementara kelompok lain dengan gigih bersikap serupa.
Mayoritas
ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai
tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu
adanya pencarian jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Bertitik
tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian hadist
yang selama ini beredar terutama hadist dari segi kuantitas dan kualitas
sanadnya, mudah-mudahan dapat mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami
hadist, baik dari segi kuantitas dan kualitas sanadnya. Penulis menyadari
didalam makalah sangat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi merevisi makalah
ini.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
pokok pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah berikut ini:
1.
Bagaimana
pembagain hadits dari segi kualitasnya?
2.
Apa yang
dimaksud dengan hadits Shahih?
3.
Apa yang
dimaksud dengan hadits Hasan?
4.
Apa yang
dimaksud dengan hadits Dha’if?
C. Tujuan
Makalah
Tujuan
penulisan makalah ini adalah;
1. Memberikan
wawasan baru terhadap penulis khususnya dan pembaca mengenai Hadits ditinjau
dari segi kualitasnya.
2. Makalah
ini ditulis guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian
Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
Ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada
kuat dan lemahnya, Hadits terbagi menjadi 2 golongan, yaitu: Hadits Maqbul
& Hadits Mardud.
Yang
dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk
diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum
atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari Hadits Shahih
dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud
adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud
dinamai juga dengan Hadits Dha’if.
B. Hadits
Shahih
1. Pengertian
Hadits Shahih
Kata “Shahih” menurut bahasa berarti:
sehat, selamat, sah dan sempurna. Ulama biasa menyebut kata shahih sebagai
lawan dari kata “saqim” yang bermakna sakit. Makna hadits shahih secara bahasa
adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.
Sedangkan menurut istilah yaitu “ Hadis yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh
rawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat (cacat), dan tidak syadz (janggal).” Demikian
pengertian hadis shahih menurut pendapat muhadditsin.
2. Syarat-syarat
Hadis Shahih
Dari pengertian di atas bahwa suatu
hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu:
a. Bersambung
sanadnya, maksudnya tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya dan tidak terdapat rawi yang gugur.
b. Perawinya adil,
terdapat beberapa kriteria yaitu beragama Islam, dewasa, sehat jasmanai dan
rohani, mukallaf, memelihara muru’ahnya, dan tidak mengikuti salah satu
pendapat mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
c. Perawinya
dhabith, maksudnya kuatnya daya ingat perawi hadis terhadap
hadis yang didengar maupun
menyampaikannya sebagaimana mestinya, kapan saja ketika diperlukan. Para
muhadditsin membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
Ø Dhabith shadr
atau dhabith fu’ad yaitu terpeliharanya semua hadis dalam
hafalan, mulai dari ia menerima sampai meriwayatkannya kepada orang lain dan
ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja, dimana saja ia kehendaki.
Ø Dhabith kitab
yaitu terpeliharanya ingatan itu melalui tulisan-tulisan atau catatan-catatan
yang dimilikinya. Ia ingat betul hadis-hadis yang telah ditulis sejak ia
mendengarnya, meriwayatkannya kepada orang lain yang benar. Jika ditemukan
adanya kesalahan tulisan dalam kitab, ia mengetahui kesalahannya.
d. Tanpa syadz
(janggal) yaitu hadis yang sanad dan matannya tidak
bertentangan dengan hadis lain yang lebih tsiqqah.
e. Tanpa ‘illat
(cacat) maksudnya hadis yang secara lahiriyyah tidak cacat,
tetapi apabila diteliti cacat itu ada sehingga keberadaannya dapat mencacatkan
keshahihannya.
3. Macam-macam
Hadis Shahih
Para
ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:
a. Hadis
Shahih Li Dzatihi
Hadis shahih li dzatihi adalah hadis yang didalamnya telah terpenuhi
syarat-syarat hadis maqbul atau yang memenuhi syarat-syarat diatas secara
sempurna. Akan tetapi jika kualitas daya ingat perawi kurang sempurna, maka
hadis shahih li dzatihi akan turun menjadi hadis hasan lidzatihi, akan tetapi
jika kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan adanya hadis lain yang kualitas
daya ingatnya lebih kuat maka naiklah hadis hasan li dzatihi menjadi hadis
shahih lighairihi.
b. Hadis
Shahih Li Ghairihi
Hadis
shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis
lain. Pada mulanya hadis ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang
dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai
hadis shahih. Tetapi setelah diketahiu ada hadis lain dengan kandungan matan yang
sama dengan kualitas shahih maka hadis tersebut naik menjadi hadis shahih, kata
lain hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena hadis
ada hadis shahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik menjadi
hadis shahih. Contoh hadis hasan menjadi shahih li ghirihi:
لَوْلَا
أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَاَمَرْتُهَمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. (
رواه الترمذي)
Kalau
tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka siwak (sikat gigi)
setiap hendak shalat. (HR TIRMIDZI)
Dalam redaksi yang sama persis, hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi juga Imam Bukhari. Hadis yang melalui jalur Imam Tirmidzi melalui
rawi Muhammad bin Amir yang terkenal sebagai orang yang jujur namun dinilai
kurang dhabit, maka hadis tersebut adalah hasan
li dzatihi. Akan tetapi ada hadis lain dengan redaksi dan makna yang sama melalui jalur Bukhari yang shahih, maka
hadis yang melalui jalur Tirmidzi naik menjadi hadis Shahih li ghairihi.
4. Kehujjahan
Hadis Shahih
Dalam menanggapi masalah apakah hadis
shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hokum secara umum
maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh
bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.
Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut
hanya terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan dengan penetapan status
halal dan haram, bukan yang berhubungan dengan keyakinan atau aqidah, sebab
masalh keyakinan atau aqidah harus ditetapkan dengan dasar Al-Qur’an dan hadis
mutawwatir bukan dengan hadis ahadi, sedangkan hadis shahih termasuk kedalam
salah satu macam hadis ahadi jika dilihat dari sisi kualitasnya.
Dari faktor itulah, maka stratifikasi
hadis shahih tergantung pada sejauh mana kedhabitan dan keadilan para
perawinya, semakin dhabit dan adil maka semakin tinggi pula strata kualitas
hadis yang diriwayatkan.
- Hadits Hasan
1. Pengertian
Hadis Hasan
Secara bahasa Hasan artinya sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat
(cacat), dan tidak mengandung kejanggalan (syadz)”.
Para ulama sepakat bahwa istilah hadis
hasan diperkenalkan pertama kali oleh Tirmidzi, karena sebelum beliau pembagian
hadis hanya ada shahih dan saqim atau maqbul dan mardud.
2. Macam-macam
Hadis Hasan
Sebagaimana
hadis shahih, demikian pula hadis hasan juga dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Hadis
hasan li dzatihi
Hadis yang memenuhi lima unsur
persyaratan hadis shahih, tetapi salah satu rawi ditengarai kurang kuat
hafalannya.
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, hadis
hasan li dzatihi ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan penukilan perawi
yang ‘adil dan ringan kedhabitannya dan yang semisalnya atau dari perawi yang
lebih tinggi darinya sampai akhirnya berhentinya sanad dan bukan hadis yang
syadz, juga bukan mu’allal (yang bercacat).
b. Hadis
hasan li ghairihz
Yaitu hadis dha’if yang karena didukung
oleh hadis lain yang shahih dengan matan yang sama, sehingga naik menjadi hadis
hasan li ghairihi. Hadis yang naik peringkatnya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis dha’if yang tidak terlalu dha’if. Adapun hadis yang sangat lemah tidak
dapan menjadi hadis hasan meskipun terdapat hadis hadis dengan matan yang sama
berkualitas shahih.
Contoh hadis dha’if yang menjadi hadis
hasan li ghairihi:
حَدَّثَنَا عُثْمَان بْنِ الهَيْتَمِ
حَدّثَنَا عَوفُ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانٍ بْنِ حُسَيْنٍ عَنِ النَّبِى
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمِ قَالَ : اطَلَعْتُ فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتَ
أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءُ وَاطَلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ
أهْلِهَا النِّسَاءُ. ( رواه البخارى)
Aku
pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir dan aku
pergi ke neraka kudapati sebagian besar penghuninya adalah wanita. (HR BUKHARI)
Hadis yang diriwayatkan
melalui jalur Bukhari menjadi dha’if karena adanya Usman bin Haitam yang
dinilai lemah, namun menjadi hasan li ghairihi karena adanya jalur lain melalui
Tirmizi yang bernilai hasan.
3.
Kehujjahan
Hadits Hasan
Adapun kehujjahan
hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama
dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian
ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li
dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Maka dari itu, para
ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan, sekalipun mereka
tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi sebagai hujjah,
yaitu:
a.
Meminimalisir
kekurangan-kekurangan yang ada.
b.
Hadits tersebut
tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama atau
hamper sama.
- Hadis Dha’if
1. Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti
lemah, kebalikannya adalah (ﻗﻮﻯ) yang berarti kuat. Maka sebutan hadis
dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, sakit, tidak kuat. Sedangkan
pengertian hadis dha’if secara therminologi menurut an-Nawawi dan al-Qasimi
adalah:
مَا لَمْ
يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِحَّةِ وَلَا شُرُوْطُ الْحَسَنِ
Hadis
dha’if adlah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih
dan syarat-syarat hadis hasan.
Dari definisi tersebut dapat difahami
bahwa jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian
syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if.
Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan
sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud
(tertolak) dan tidak bias dijadikan
hujjah.
2. Klasifikasi
Hadis Dha’if
Hadis dhaif berdasarkan tingkat
kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Dhaif muhtamal,
yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dha’if yang berat. Hal
ini ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya kedha’ifan hadis
tersebut dan terangkat menjadi hadis hasan li ghairihi.
b. Dha’if syadid,
yaitu dha’if yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang semisalnya
tertapi tetap tidak tertutup kedha’ifan hadis tersebut dan tidak terangkat
derajatnya.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadis
shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hokum secara umum
maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh
bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.
Adapun kehujjahan
hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama
dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian
ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li
dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu
syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut
dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga
syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis
dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.
- Saran
Dalam
penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa
menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik
maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Mukhsan S.Pd.I yang bersifat
membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam
penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Zein,
Muhammad Ma’shum.2007.Ulumul Hadits &
Musthalah Hadits.Jakarta:Darul Hikmah
Yuslem,
Nawir.2001.Ulumul Hadis.Jakarta:PT.
Mutiara Sumber Widya
TIM
MGMP PROVINSI YOGYAKARTA.2011.Ilmu
Hadits.Yogyakarta:Kementrian Agama
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum Wr.wb
Pesan Berkomentar :
1. Mohon berkomentar yang baik, yang bertujuan untuk memperbaiki dan
bersifat membangun.
2. Dilarang berkomentar untuk yang tidak baik di blog ini atau yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku.